Jumat, 10 Oktober 2014

(( Mengapa Aku Memilih Wahdah ))




Perseteruan di kubu ahlu sunnah belum juga surut. Sesama mereka saling mengklaim ahlu sunnah, lalu memvonis yang lain dengan kesesatan dan ahlul bid’ah atau gelar-gelar keji lainnya. Parahnya, perseteruan ini terjadi (sebagaimana saya melihatnya) sebagian besar disebabkan karena pengambilan berita yang simpang siur lalu tidak mau lagi mengadakan konfirmasi dengan berita yang di dengarkannya itu. Dengan dalih bahwa yang menyampaikannya adalah seorang yang tsiqah. Lantas dengan itu, seenaknya saja berbicara, menyesatkan sana-sini, mentabdi’ hingga para ulama dan du’at pun menjadi korban mereka. Allahul Musta’an
Padahal, jika kita melihat kaidah para salaf dalam mengambil berita, tidak segegabah mereka-mereka yang ngakunya sebagai ahlu sunnah itu, lantas kemudian menyesatkan lainnya. inilah ajaran syaithan yang mereka praktekkan, yaitu al isti’jal (ketergesah-gesahan). Tergesah-gesah dalam memvonis. Sungguh menyedihkan, hasil-hasil binaan mereka yang baru satu atau dua tahun bahkan baru beberapa bulan belajar, sudah berani memvonis ulama dan da’i dengan kesesatan keluar dari manhaj salaf. Dengan dalil, ustadznya bilang gini dan gitu, karena ada kesalahan pada mereka, katanya.
Manusia mana yang tidak akan berbuat salah? Mungkin gurunya, iyadzan billlah. Kalau ulama saja bisa salah bagaimana dengan gurunya? Maka akan lebih bisa salah juga.
Oleh karena itu begitu indah apa yang diajarkan para salaf dalam mengambil berita. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh DR. Muhammad Ibnu Abdirrazzaq ad Duwaisy hafizhahullah dalam mudzakirah ushul fiqh syarah raudhatun nazhir, beliau meneragkan tatkala terjadi berita yang di bawa oleh Abdullah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah radhiyallahu ‘anha dalam keadaan ihram, dimana kondisi ini di haramkan menikah. Akan tetapi ada dalil yang menunjukkan kesalahan perkataan Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tersebut yang langusung ditanggapi oleh Maimunah sendiri dan sahabat yang hadir dalam prosesi akad nikahnya.
Maka dengan ini, ada cara menanggapi berita yang beredar. Pertama lebih mengutamakan perkataan pemilik kisah daripada orang lain yang jauh dari kisah walaupun dia seorang alim, karena pemilik kisah lebih tahu apa yang terjadi pada dirinya daripada orang lain itu. Kedua, lebih mengutamakan orang yang dekat/ hadir bersama pemilik kisah dari yang jauh dari kisah. Karena orang yang bersamanya lebih tahu apa yang terjadi. (untuk lebih jelasnya lihat dalam kitab Mudzaakirah fi ushul Fiqh halaman 359, versi PDF)
Akan tetapi, toh dengan kejdian ini Abdullah Ibnu Abbas tidak dikatakan sebagai seorang pendusta. Bahkan bagaimana indahnya para ulama dalam menyikapi satu berita. Dari situ kita seharusnya belajar dalam menyikapi saudara kita sesama muslim.
Adapun mereka yang hari ini ngaku ahlu sunnah, masya Allah, perkataannya sudah seperti ulama kelas atas. Paling parahnya lagi murid-muridnya, yang sama sekali tidak paham ilmu alat. Beginilah hasilnya kalau baru belajar langsung diajarkan tahdzir sana-sini.
Yaa sudahllah...
Lalu kenapa saya memilih wahdah?
Jujur, sampai hari ini saya melihat mereka (asatidz wahdah) selalu memposisikan muslim sebagai muslim, sebagai sudaranya yang tidak boleh di sakiti dan patut di jaga kehormatannya. Namun jika berbeda dalam sesuatu, mereka tetap menyalahkannya dan menashatinya tapi tidak mau ikut dalam kesalahannya tapi tidak untuk memusuhinya. Tidak ingin mencari musuh.
Jujur, sudah berkali-kali saya mendengarkan mereka di sebut sebagai anak ingusan oleh ustadz-ustadz yang nagku salafi itu, tapi masya Allah, balasan guru saya ketika menyebut namanya, justru dengan gelar ustadz di akhiri lagi dengan doa “hafizahahullah” (semoga Allah menjagannya).
Mereka menuduh asatidz wahdah gemar mengkritik pemerintah, tapi disisi lain mereka juga melihat bagaimana hubungan baik pemerintah dengan mereka yang sering mengadakan kerja sama. Olehnya saya biasa heran dengan saudara-saudara yang selalu mentahdzir itu, di suatu waktu dia mengatakan mereka dekat dengan pemerintah dan di waktu lain gemar mengkritik pemerintah. Sungguh tuduhan yang di dasari hawa saja. Allahul musta’an
Begitu juga ketika tuduhan bahwa asatidz wahdah mengajarkan empat macam tauhid, salah satunya tauhid hakimiyyah/ tauhid mulkiyyah, atau tuduhan lannya yang rata-ratanya hanyalah kedustaan. Tapi entahlah... begitulah mereka yang selalu teriak-teriak hizbi tapi tidak sadar kalau mereka jatuh pada kehizbian tersebut.
Terakhir, saya ingin berpesan kepada para penuntut ilmu agar tidak gegabah dalam menyebarkan berita. Sungguh indah perkataan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, “jika seandainya orang tidak berilmu itu diam, niscaya tidak akan terjadi fitnah dalam agama.”
Jika kalian mendengarkan berita maka konfirmasi dahulu kebenarannya, langusung pada korban atau pemilik kisah, jangan pada orang lain. ingat kaidah yang di tulis oleh syaikh Khalid Ibnu Ahmad az Zahrani hafizhahullah dalam bukunya Da’watu Ahlil Bida’ beliau mengatakan, tidak boleh menghajr seseorang samapai ia menanyakan langsung pada orangnya tentang masalah yang di isukan itu. Kalau Cuma menghajar tidak boleh, maka bagaimana dengan menyesatkan dan mengelurakan dari manhaj ahlu sunnah? Hadza asyaddun wa akhtor... (lebih parah dan lebih berbahaya)
Itulah kenapa saya lebih memilih belajar di wahdah tanpa mengatakan ini adalah paling benar, karena mereka tidak pernah mengajarkan untuk fanatik dengan yayasan dan ormas mereka. walaupun di tuduh dengan berbagai dusta yang banyak. Guru-guruku tidak pernah mentahdzir ulama yang mejadi guru mereka justru memujinya dan menjadikannya juga sebagia ulama rujukan. Mereka tidak pernah melarang untuk belajar pada siapapun selama diatas manhaj salaf.
Mereka diam bukan berarti mereka tidak ingin bicara, saya pun sudah membaca alur peristiwa perseteruan ini yang jika di ikutkan untuk saling mentahdzir maka tidak akan ada habisnya. Ash shumtu (diam) itu yang terbaik dan tetap berdakwah. Antum ‘alal Haq (kalian berada diatas kebenaran) itulah perkataan syaikh Khalid as Sabat hafidzahullah.
Itu saja....
-----------------------------
Abu ‘Ukasyah Wahyu al Munawiy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar