Perseteruan
di kubu ahlu sunnah belum juga surut. Sesama mereka saling mengklaim ahlu
sunnah, lalu memvonis yang lain dengan kesesatan dan ahlul bid’ah atau
gelar-gelar keji lainnya. Parahnya, perseteruan ini terjadi (sebagaimana saya
melihatnya) sebagian besar disebabkan karena pengambilan berita yang simpang
siur lalu tidak mau lagi mengadakan konfirmasi dengan berita yang di
dengarkannya itu. Dengan dalih bahwa yang menyampaikannya adalah seorang yang
tsiqah. Lantas dengan itu, seenaknya saja berbicara, menyesatkan sana-sini,
mentabdi’ hingga para ulama dan du’at pun menjadi korban mereka. Allahul
Musta’an
Padahal,
jika kita melihat kaidah para salaf dalam mengambil berita, tidak segegabah
mereka-mereka yang ngakunya sebagai ahlu sunnah itu, lantas kemudian
menyesatkan lainnya. inilah ajaran syaithan yang mereka praktekkan, yaitu al
isti’jal (ketergesah-gesahan). Tergesah-gesah dalam memvonis. Sungguh
menyedihkan, hasil-hasil binaan mereka yang baru satu atau dua tahun bahkan
baru beberapa bulan belajar, sudah berani memvonis ulama dan da’i dengan
kesesatan keluar dari manhaj salaf. Dengan dalil, ustadznya bilang gini dan
gitu, karena ada kesalahan pada mereka, katanya.
Manusia
mana yang tidak akan berbuat salah? Mungkin gurunya, iyadzan billlah. Kalau
ulama saja bisa salah bagaimana dengan gurunya? Maka akan lebih bisa salah
juga.
Oleh
karena itu begitu indah apa yang diajarkan para salaf dalam mengambil berita.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh DR. Muhammad Ibnu Abdirrazzaq ad
Duwaisy hafizhahullah dalam mudzakirah ushul fiqh syarah raudhatun nazhir,
beliau meneragkan tatkala terjadi berita yang di bawa oleh Abdullah Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi
Maimunah radhiyallahu ‘anha dalam keadaan ihram, dimana kondisi ini di haramkan
menikah. Akan tetapi ada dalil yang menunjukkan kesalahan perkataan Abdullah
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tersebut yang langusung ditanggapi oleh Maimunah
sendiri dan sahabat yang hadir dalam prosesi akad nikahnya.
Maka
dengan ini, ada cara menanggapi berita yang beredar. Pertama lebih mengutamakan
perkataan pemilik kisah daripada orang lain yang jauh dari kisah walaupun dia
seorang alim, karena pemilik kisah lebih tahu apa yang terjadi pada dirinya
daripada orang lain itu. Kedua, lebih mengutamakan orang yang dekat/ hadir
bersama pemilik kisah dari yang jauh dari kisah. Karena orang yang bersamanya
lebih tahu apa yang terjadi. (untuk lebih jelasnya lihat dalam kitab
Mudzaakirah fi ushul Fiqh halaman 359, versi PDF)
Akan
tetapi, toh dengan kejdian ini Abdullah Ibnu Abbas tidak dikatakan sebagai
seorang pendusta. Bahkan bagaimana indahnya para ulama dalam menyikapi satu
berita. Dari situ kita seharusnya belajar dalam menyikapi saudara kita sesama
muslim.
Adapun
mereka yang hari ini ngaku ahlu sunnah, masya Allah, perkataannya sudah seperti
ulama kelas atas. Paling parahnya lagi murid-muridnya, yang sama sekali tidak
paham ilmu alat. Beginilah hasilnya kalau baru belajar langsung diajarkan
tahdzir sana-sini.
Yaa
sudahllah...
Lalu
kenapa saya memilih wahdah?
Jujur,
sampai hari ini saya melihat mereka (asatidz wahdah) selalu memposisikan muslim
sebagai muslim, sebagai sudaranya yang tidak boleh di sakiti dan patut di jaga
kehormatannya. Namun jika berbeda dalam sesuatu, mereka tetap menyalahkannya
dan menashatinya tapi tidak mau ikut dalam kesalahannya tapi tidak untuk
memusuhinya. Tidak ingin mencari musuh.
Jujur,
sudah berkali-kali saya mendengarkan mereka di sebut sebagai anak ingusan oleh
ustadz-ustadz yang nagku salafi itu, tapi masya Allah, balasan guru saya ketika
menyebut namanya, justru dengan gelar ustadz di akhiri lagi dengan doa
“hafizahahullah” (semoga Allah menjagannya).
Mereka
menuduh asatidz wahdah gemar mengkritik pemerintah, tapi disisi lain mereka
juga melihat bagaimana hubungan baik pemerintah dengan mereka yang sering
mengadakan kerja sama. Olehnya saya biasa heran dengan saudara-saudara yang
selalu mentahdzir itu, di suatu waktu dia mengatakan mereka dekat dengan
pemerintah dan di waktu lain gemar mengkritik pemerintah. Sungguh tuduhan yang
di dasari hawa saja. Allahul musta’an
Begitu
juga ketika tuduhan bahwa asatidz wahdah mengajarkan empat macam tauhid, salah
satunya tauhid hakimiyyah/ tauhid mulkiyyah, atau tuduhan lannya yang
rata-ratanya hanyalah kedustaan. Tapi entahlah... begitulah mereka yang selalu
teriak-teriak hizbi tapi tidak sadar kalau mereka jatuh pada kehizbian
tersebut.
Terakhir,
saya ingin berpesan kepada para penuntut ilmu agar tidak gegabah dalam
menyebarkan berita. Sungguh indah perkataan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, “jika
seandainya orang tidak berilmu itu diam, niscaya tidak akan terjadi fitnah
dalam agama.”
Jika
kalian mendengarkan berita maka konfirmasi dahulu kebenarannya, langusung pada
korban atau pemilik kisah, jangan pada orang lain. ingat kaidah yang di tulis
oleh syaikh Khalid Ibnu Ahmad az Zahrani hafizhahullah dalam bukunya Da’watu
Ahlil Bida’ beliau mengatakan, tidak boleh menghajr seseorang samapai ia
menanyakan langsung pada orangnya tentang masalah yang di isukan itu. Kalau
Cuma menghajar tidak boleh, maka bagaimana dengan menyesatkan dan mengelurakan
dari manhaj ahlu sunnah? Hadza asyaddun wa akhtor... (lebih parah dan lebih
berbahaya)
Itulah
kenapa saya lebih memilih belajar di wahdah tanpa mengatakan ini adalah paling
benar, karena mereka tidak pernah mengajarkan untuk fanatik dengan yayasan dan
ormas mereka. walaupun di tuduh dengan berbagai dusta yang banyak. Guru-guruku
tidak pernah mentahdzir ulama yang mejadi guru mereka justru memujinya dan
menjadikannya juga sebagia ulama rujukan. Mereka tidak pernah melarang untuk
belajar pada siapapun selama diatas manhaj salaf.
Mereka
diam bukan berarti mereka tidak ingin bicara, saya pun sudah membaca alur
peristiwa perseteruan ini yang jika di ikutkan untuk saling mentahdzir maka
tidak akan ada habisnya. Ash shumtu (diam) itu yang terbaik dan tetap
berdakwah. Antum ‘alal Haq (kalian berada diatas kebenaran) itulah perkataan
syaikh Khalid as Sabat hafidzahullah.
Itu saja....
-----------------------------
Abu ‘Ukasyah Wahyu al Munawiy
-----------------------------
Abu ‘Ukasyah Wahyu al Munawiy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar